Sedesa.id Tanya Jawab Undang Undang Desa mengenai Kedudukan dan Jenis Desa, seperti apa kedudukan desa paska berlakunya undang undang desa, dan apa saja jenis desa yang termuat dalam undang undang desa? Pembahasan ini menjawab pertanyaan mengenai kedudukan dan jenis desa dalam undang undang tentang desa;
- Bagaimana kedudukan desa dalam ketatanegaraan Republik Indonesia?
- Bagaimana dan apa batas-batas kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengatur dan mengurus desa?
- Apa perbedaan antara masyarakat adat, kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat dan lembaga adat?
- Bagaimana menentukan batas wilayah desa adat?
- Bagaimana kriteria masyarakat adat dalam desa adat? Apakah ditentukan oleh kesatuan suku atau kesatuan bahasa atau kesatuan yang lain?
Pertanyaan pertanyaan tersebut, silakan untuk disimak masing-masing jawabannya di bawah ini. Tanya Jawab Undang Undang Desa Kedudukan dan Jenis Desa;
Berdasar pada UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7), UU No. 6/2014 tentang Desa menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Desa tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa. Desa mengandung pemerintahan dan sekaligus mengandung masyarakat sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum atau kesatuan organik. Desa tidak direduksi sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan Kabupaten/Kota, melainkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota.
Sebagai pemerintahan lokal, Desa merupakan organisasi pemerintahan yang paling kecil, paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Paling “kecil” berarti bahwa wilayah maupun tugas-tugas pemerintahan yang diemban desa mampunyai cakupan atau ukuran terkecil dibanding dengan organisasi pemerintahan kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Paling “bawah” berarti desa menempati susunan atau lapisan pemerintahan yang terbawah dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Desa sebagai “masyarakat yang berpemerintahan” mempunyai sejumlah ciri khas yang berbeda dengan kedudukan sebagai “pemerintahan lokal”:
1. Desa merupakan kesatuan organik dan kolektif antara pemerintah desa, BPD, lembaga kemasyarakatan, lembaga adat, dan unsur-unsur masyarakat. Jika menyebut desa berarti bukan hanya pemerintah desa, tetapi juga mencakup masyarakat.
2. Desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui dan ditetapkan, bukan diserahkan oleh pemerintah.
3. Penyelenggaraan kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa, tidak semata didasarkan pada peraturan dari atas tetapi juga memperhatikan prakarsa masyarakat, kondisi sosial budaya, kearifan lokal dan adat istiadat.
4. Penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat mengutamakan asas kegotongroyongan, kebersamaan, kekeluargaan dan musyawarah.
5. Kepala Desa berasal dari desa setempat, memperoleh mandat dari masyarakat desa setempat, dan menjadi pemimpin masyarakat.
6. Perangkat desa tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang diisi oleh warga masyarakat desa setempat.
7. Pembangunan desa dilaksanakan oleh pemerintah desa bersama masyarakat.
Tetapi sebagai pemerintahan lokal, kedudukan desa tidak bisa lepas dari susunan hirarkhi pemerintahan, mulai dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Susunan hirarkhis akhirnya juga berdampak terhadap kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum secara utuh. Memang UU Desa tidak menegaskan bahwa Desa merupakan bawahan Kabupaten/Kota, tetapi Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai sejumlah kewenangan mengatur dan mengurus desa, termasuk berwenang dan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Desa.
UU Desa menetapkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai kewenangan yang luas dan besar dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. UU ini memberi amanat tentang kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai berikut:
a. Penataan desa mulai dari penetapan Desa dan Desa Adat, pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, penyesuaian kelurahan. Pemerintah Kabupaten/ Kota harus mengeluarkan Peraturan Daerah.
b. Penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara serentak termasuk pembiayaannya, struktur organisasi dan tatalaksana pemerintahan desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, penghasilan tetap pemerintah desa, dan pengisian BPD. c. Alokasi Dana Desa serta bagi hasil pajak dan retrubusi daerah d. Penetapan kawasan perdesaan.
Di sisi lain Pemerintah Kabupaten/Kota tidak berwenang mengatur (mengeluarkan Perda) dalam hal kewenangan desa, musyawarah desa, perencanaan pembangunan desa, pengelolaan keuangan desa, Badan Usaha Milik Desa, peraturan desa, lembaga kemasyarakatan, dan kerja sama desa. Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dan kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aspek-aspek yang tidak diaturnya itu. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak berwenang atau tidak perlu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang BUMDesa, tetapi ia berwenang melakukan pembinaan terhadap pendirian dan pengembangan BUMDesa, baik melalui fasilitasi, asistensi, pengembangan kapasitas, dukungan modal, dukungan jaringan pasar, dan sebagainya.
Menurut PP No. 43/2014 kewenangan berdasarkan hal asal-usul dan kewenangan lokal masih membutuhkan Peraturan Kepala Daerah. Tetapi Peraturan Bupati/Walikota itu bukanlah bermakna mengatur, melainkan membuat daftar kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal yang mengantarkan dan memfasilitasi penetapan yang akan dilakukan oleh Desa melalui Peraturan Desa.
Masyarakat adat sering disebut masyarakat pribumi atau masyarakat tradisional, yakni kelompok yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya alam dan lingkungan, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan sebagai berikut:
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
Definisi itu mengandung makna masyarakat adat secara teritorial dan genealogis, bahkan definisi itu sudah mengarah pada pengertian pada kesatuan masyarakat hukum adat. Ada masyarakat adat berbasis teritorial dalam komunitas kecil, desa, bahkan sampai daerah. Sebagai contoh masyarakat adat Badui, masyarakat adat Tengger, masyarakat adat Kubu, dan lain-lain. Ada masyarakat berbasis genealogis (ikatan darah) dalam bentuk marga, suku bahkan ras yang hidup berpencar melintasi batas-batas teritorial. Sebagai contoh adalah masyarakat adat Mesuji, ada Mesuji Sumatera Selatan dan Mesuji Lampung. Demikian juga masyarakat adat Samin yang terpencar di Blora, Pati, maupun Bojonegoro.
Yanze Arizona (2014) maupun Yando Zakaria (2014) membagi tiga jenis masyarakat adat: (a) masyarakat adat yang paling kecil adalah desa adat sebagai badan hukum publik yang bersifat genealogis, teritorial dan fungsional; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Badan hukum perdata yang bersifat teritorial dan genealogis; dan (c) masyarakat tradisional dan masyarakat daerah.
Kesatuan masyarakat hukum adat adalah tipe masyarakat adat. Setiap kesatuan masyarakat hukum adat pasti masyarakat adat, tetapi tidak setiap masyarakat adat (terutama yang bersifat genealogis) merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Ciri khas utama kesatuan masyarakat hukum adat adalah masyarakat adat yang memiliki batas-batas teritorial yang jelas, memiliki organisasi kekuasaan atau pemerintahan dan juga memiliki hukum adat.
Konsep kesatuan masyarakat hukum adat mengacu pada UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2). Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat adalah masyarakat adat atau sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya. Istilah kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian unit organisasi masyarakat atau masyarakat yang terorganisasi menurut norma hukum adat.
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat hukum adat, masyarakat hukum yang bersumber dari tradisi budaya setempat. Dengan disebut sebagai masyarakat hukum berarti unit organisasi masyarakat tersebut diakui dan dihormati oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai subjek hukum yang menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam pergaulan hukum. Karena itu yang diakui itu bukan hanya unit organisasinya tetapi juga mencakup “hak-hak tradisionalnya” yang dapat berupa tanah atau wilayah daratan atau wilayah perairan, ataupun benda-benda pustaka, dan kekayaan-kekayaan budaya serta kawasan perkebunan, persawahan, hutan dan sebagainya dalam wilayah tradisional masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kesatuan masyarakat hukum adat tampil beragam sesuai dengan budaya dan bahasa di tiap daerah, seperti huta dan nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman dan desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Desa adat termasuk jenis masyarakat adat dan bahkan kesatuan masyarakat hukum adat. Sesuai UU Desa, setiap kesatuan masyarakat hukum adat dapat ditetapkan menjadi desa adat jika memenuhi syarat harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma hukum adat.
Wilayah merupakan syarat pertama yang bersifat mutlak. Empat syarat yang lain tidak bersifat akumulatif semua syarat, melainkan dapat mengambil salah satu syarat dari empat syarat itu.
Sedangkan konsep lembaga adat merupakan istilah yang diperkenalkan oleh pemerintah pada masa lalu, yang menunjuk organisasi dan/atau pranata yang dimiliki masyarakat adat. Dalam UU Desa disebutkan bahwa Lembaga adat Desa merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.
Pada dasarnya semua wilayah Indonesia terbagi habis ke dalam wilayah desa, meskipun masih banyak desa di Indonesia yang tidak memiliki kejelasan batas-batas wilayahnya. Sedangkan masyarakat adat pada umumnya memiliki satuan wilayah geografis yang berskala desa, tetapi yang lebih banyak justru melintasi batas-batas wilayah desa, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Wilayah masyarakat adat bisa tanpa batas, bisa menggunakan kriteria “sejauh mata memandang”, tetapi untuk wilayah desa adat harus jelas, seperti halnya wilayah desa. Wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang akan ditetapkan menjadi desa adat (secara de jure) bisa seluas wilayah desa bisa juga seluas beberapa desa dalam satu kecamatan.
Tetapi ada dua prinsip dasar yang harus dipegang. Pertama, tidak ada satu desa adat (yang sudah ditetapkan secara de jure) memiliki wilayah yang melintasi wilayah kecamatan, wilayah kabupaten/kota, dan wilayah provinsi. Mengapa? UU Desa telah menegaskan bahwa desa atau desa adat berada dalam wilayah kabupaten/kota. UU No. 23/2014 juga menegaskan bahwa wilayah NKRI dibagi menjadi wilayah provinsi, wilayah provinsi dibagi menjadi wilayah kabupaten. Kedua, wilayah desa adat (de jure) tidak boleh bersinggungan, beririsan, atau bertumpuk sama dengan wilayah desa yang sudah ada.
Desa adat merupakan bentuk masyarakat adat yang spesifik dengan batas-batas teritorial yang jelas. Masyarakat adat seperti kesatuan suku atau kesatuan bahasa bisa terdiri dari beberapa desa adat. Sesuai UU Desa, syarat mutlak penetapan desa adat adat adalah wilayah. Syarat lainnya bisa mengambil dari salah satu syarat: masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; pranata pemerintahan adat; harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau perangkat norma hukum adat.
Demikian pembahasan mengenai Tanya Jawab Undang Undang Desa Kedudukan dan Jenis Desa. Materi bersumber dari Buku Saku TANYA JAWAB SEPUTAR UNDANG-UNDANG DESA Tim Penyusun Kementerian Desa, PDT, dan Tansmigrasi.
Seri Tanya Jawab Lainnya: Tanya Jawab BUMDes dalam UU Desa Lengkap