Sedesa.id Situasi saat ini membuktikan pada kita semua, bahwa desa jauh lebih tangguh dalam menghadapi masa sulit. Ada banyak faktor, saya tidak akan menuliskan kali ini. Namun yang ingin saya tekankan adalah, keberhasilan, kemajuan yang ada di desa, tidak lain dari tangan warga desa itu sendiri.
Warga desa yang mulai sadar pentingnya bangkit dan mengembangkan diri mereka dan potensi yang ada di desa mereka, adalah satu modal besar menjadi desa mandiri. Tanpa adanya kesadaran bersama, tanpa adanya kemauan bersama, seperti apa pun program yang ada akan kurang optimal hasilnya.
Pandangan Umum; Kerja Proyek Pemberdayaan Tidak Berumur Panjang?
Satu minggu terakhir ini saya banyak sekali menerima pesan whatsapp, intinya adalah menanyakan bagaimana model pemberdayaan masyarakat dan pengembangan Desa. Pertanyaan yang disampaikan, juga bersumber dari banyak tulisan yang saya terbitkan melalui web ini.
Saya selalu percaya bahwa kemajuan desa ada di tangan warga desa. Harus ada ‘Kesadaran’ dan ‘Kemauan’ itu menjadi kata kunci! Jika tidak, maka bagaimana pun program yang ada, utamanya program dari luar, sifatnya hanya sementara, sekedar proyek, biasanya tidak ‘berumur’ jangka panjang.
Tapi, kita tidak bisa menutup mata. Logika pemberdayaan, logika pengembangan desa, dengan model proyek memang masih menjadi bagian yang kita rasakan hari ini. Mereka yang hadir untuk mengembangkan desa, bisa jadi tidak pernah tahu rasanya tinggal dan hidup sebagai warga desa.
Maka, jika kemudian desa ramai-ramai ada program, lalu kemudian program selesai, sepi kembali, hilang tidak ada jejak. Ya jangan heran, karena logikanya ada dalam proposal. Laporan sudah dibuat. Program selesai. Begitu.
Memang tidak sedikit yang juga berhasil. Tapi lihatlah keberhasilan yang ada, lebih banyak dan jangka panjang ketika memang lahir dari warga desa. Sesuatu yang mengendap dan menjadi buah keinginan dari kesadaran.
Tentu harus ada perbaikan dari setiap ‘proyek pemberdayaan desa’ untuk menjawab pertanyaan bahwa kerja proyek pemberdayaan tidak berumur panjang. Semua itu bisa kita mulai dari mencintai Indonesia, mencintai desa.
Jangan Anggap Wara Desa Tidak Tahu Apa-Apa
Saya pernah merasa begitu sakit hati mendengar seorang mentor, trainers atau apalah dia menamai dirinya. Dalam suatu kesempatan dia berkata bahwa “warga desa tidak tahu apa-apa, jadi apa pun program yang diberikan, pasti mau-mau saja” pernyataan semacam ini menurut saya tidak tepat, dan menunjukkan bagaimana logika ‘proyek’ atas nama pemberdayaan desa bermain.
Saya prihatin betul, karena tidak hanya satu dua orang yang berkecimpung sebagai trainers, sebagai pembicara, mengaku sebagai ‘agen perubahan desa’ juga memiliki logika yang sama. Menganggap warga desa benar-benar lemah dan tidak tahu apa-apa.
Saya katakan pada diri saya sendiri, sejauh pengalaman saya berkecimpung dalam bidang pemberdayaan masyarakat, justru merekalah yang tahu segalanya. Mereka memahami detail apa yang ada di daerah mereka. Mereka memahami setiap proses yang sedang mereka jalani. Sering kali kehadiran program justru mencarut marut proses yang sebelumnya sudah dibangun.
Jadi ketika Anda datang ke warga desa, dengan logika bahwa mereka tidak tahu apa-apa, dengan logika bahwa Anda pemilih ilmu pengetahuan, bahwa Anda penyelamat mereka. Cobalah untuk mengendapkan pikiran sekali lagi. Anda hanya menjalankan program, setelah itu keberhasilannya pun diukur dalam laporan, yang mana laporannya juga Anda yang membuat.
Jadi, coba sesekali berpikir terbalik. Dengarkan warga desa, pahami lebih dalam, berpihak dan memihak, jadilah mereka. Dengan demikian kita bakal sadar, betapa kita juga belum paham tentang desa, betapa kita tidak memahami apa masalah sesungguhnya yang terjadi di desa yang akan kita dampingi.
Menuliskan Ini Sebagai Wujud Cinta Kepada Semua
Kita semua ingin yang terbaik untuk bangsa ini. Banyak hal yang bisa kita lakukan, banyak hal yang bisa kita berikan. Seperti halnya saya, Anda dan kita bersama yang mencintai desa-desa di Indonesia, mencintai desa sebagai wujud mencintai dan berbakti untuk Indonesia.
Besar harapan kita bersama bahwa setiap program yang ada dapat berjalan dan memberikan dampak nyata. Seperti saya sering sampaikan, dampak berkelanjutan. Program yang tidak hanya selesai dalam bentuk laporan tertulis dan terbatas waktu. Namun yang benar-benar dapat dipahami, dan menjadi solusi bagi persoalan yang ada di desa.
Seperti dalam catatan penulis sebelumnya, saya ceritakan bagaimana pasar dan pemasaran produk lokal desa yang menjadi persoalan, namun program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat masih sibuk pada pelatihan membuat produk. Urusan produk dan inovasi, akan berjalan dengan sendirinya ketika kita sudah memahami pasar dan pemasarannya.
Benar, bahwa logika ini bisa dibalik, ketika produk sudah bagus pasar akan mengikuti. Tapi lihatlah berapa banyak produk yang lahir dari model pendampingan atau pemberdayaan? Lalu berapa besar pasar yang kemudian bisa diakses oleh produk itu? Lagi, kembali pada persoalan pasar dan pemasaran.
Maka, wujud cinta kita kepada semua yang terlibat dalam upaya memajukan desa adalah dengan saling memahami. Bahwa aktor penting ada di desa adalah warga desa itu sendiri. Maka, program yang akan kita tawarkan untuk pengembangan desa, hendaknya menitik beratkan pemain utama adalah warga desa.
Demikian catatan penulis kali ini, tetap semangat membangun bangsa Indonesia, mencintai setiap unsur yang ada di dalamnya. Saya anak desa, saya menghormati setiap program yang ada, tapi percayalah jika logika kita salah, maka program selamanya akan sia-sia. Terima kasih, salam. Ari Sedesa.id