Sedesa.id Jika Anda sedang mencari referensi Buku Demokratisasi desa, maka Anda telah sampai di halaman yang tepat, Anda dapat Download Buku Demokratisasi Desa, di postingan ini. Demokratisasi Desa merupakan frase tersendiri yang sengaja dibedakan dengan demokratisasi di Desa. Demokratisasi Desa mewakili semangat UU Desa yang mengakui Desa sebagai subyek dalam payung asas rekognisi dan subsidiaritas. Ada baiknya sebelum Download Buku Demokratisasi Desa terlebih dahulu Anda untuk menyimak penjelasan Buku Demokratisasi Desa di bawah ini:
Pendahuluan
Demokrasi nasional akan kokoh apabila disokong oleh demokrasi di tingkat akar rumput. Hampir dua dekade terakhir, dihitung sejak reformasi 1998, perhatian publik terarah pada sistem dan perjalanan demokrasi di tingkat nasional. Sementara di masyarakat paling bawah, demokrasi belum menjadi agenda yang menonjol baik dalam regulasi maupun dalam proses politik riil. Masyarakat Desa misalnya, sejauh ini hanya ‘dilibatkan’ dalam perhelatan-perhelatan “demokratis” daerah maupun nasional, seperti dalam Pemilu, Pemilukada langsung, atau menjadi objek pengaturan dalam otonomi daerah.
Perhelatan-perhelatan tersebut tentu memiliki maksud dan tujuan tersendiri yang tak kalah penting, diantaranya sebagai pewujudan demokrasi dalam politik nasional. Akan tetapi demi kuatnya demokrasi secara nasional, penumbuhan kesadaran dan pembelajaran demokrasi membutuhkan upaya yang lebih masif dan langsung menyentuh kehidupan masyarakat Desa. Di antaranya melalui demokratisasi Desa.
Kekosongan regulasi Negara yang mendorong demokrasi di tingkat masyarakat paling bawah diisi oleh UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU No. 6 Tahun 2014 – selanjutnya disebut UU Desa – secara spesifik memerintahkan Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Daerah) untuk melaksanakan kehidupan demokrasi. Kewajiban serupa berlaku bagi Desa, yaitu untuk mengembangkan kehidupan demokrasi. Itu berarti, UU Desa tengah menyinergikan demokrasi sebagai kewajiban bagi elit Desa (Kades dan BPD) dengan pengembangan tata sosial dan budaya demokrasi masyarakat Desa secara keseluruhan. Apabila sinergi keduanya dapat terjadi, kokohnya demokrasi secara nasional menjadi mungkin terwujud.
Ikhwal yang harus diperjelas adalah: mengapa demokratisasi Desa penting? Tidakkah proses demokratisasi yang masih terus berlangsung sampai saat ini di tingkat nasional cukup mengantarkan Desa menjadi demokratis? Lantas, bagaimana demokratisasi Desa akan dilakukan?
Tiga pertanyaan tersebut mewakili gambaran umum apa yang akan diulas dalam tulisan ini. Secara umum, tulisan ini akan membahas mengenai signifikansi demokratisasi Desa; Desa sebagai arena bagi demokrasi serta prinsip-prinsip demokrasi yang harus dikembangkan di Desa; kerangka kerja demokratisasi Desa; dan peran Pendamping dalam demokratisasi Desa.
Demokrasi Desa
Demokratisasi Desa merupakan frase tersendiri yang sengaja dibedakan dengan demokratisasi di Desa. Demokratisasi Desa mewakili semangat UU Desa yang mengakui Desa sebagai subyek dalam payung asas rekognisi dan subsidiaritas. Pilihan frase tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Desa bukanlah ruang geografi kosong yang berjarak dari sosio budaya manusia yang tinggal di dalamnya, seperti tertangkap dari frase demokratisasi di Desa.
Sebaliknya, Desa merupakan kesatuan teritorial atau wilayah yang melekat dan terikat pada kehidupan manusia di atasnya beserta tradisi dan adat-istiadat yang menggerakkan kehidupan itu. Dengan demikian, frase atau konsep demokratisasi Desa berarti upaya menggerakkan demokrasi dalam kekhasan Desa itu sendiri. Demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam semangat pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi Desa Signifikansi atau nilai penting demokratisasi Desa dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, dalam arena Desa, demokrasi merupakan upaya pendefinisian ulang hubungan antara masyarakat Desa dengan elit atau penyelenggara Pemerintahan Desa (Kades beserta perangkat dan BPD).
Melalui demokrasi, di Desa pun berlaku definisi umum kekuasaan, yakni kekuasaan berasal dan berada di tangan rakyat. Dengan berpijak pada definisi tersebut berarti bahwa masyarakat atau warga Desa adalah pemilik sejati dari kekuasaan (Desa), bukan elit atau penyelenggara Pemerintahan Desa. Penyelenggara Pemerintahan Desa adalah sekedar pelaksana kekuasaan rakyat Desa, bukan pemilik kekuasaan atau apalagi pemilik Desa.
Latar belakang kedua terkait dengan kemajuan yang ditandai oleh UU Desa dalam memandang kedudukan Desa. Salah satu bagian terpenting dalam UU Desa adalah pengakuan Negara terhadap hak asal-usul Desa (disebut asas rekognisi) dan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa (disebut asas subsidiaritas). Dengan dua asas tersebut, Desa memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengurus dirinya sendiri.
Dipandang dari sudut kepentingan masyarakat Desa, rekognisi dan subsidiaritas memberi peluang bagi Desa untuk mewujudkan kehendak bersama dalam semangat Desa membangun. Desa tampil sebagai subyek yang merencanakan dan menyusun prioritas pembangunannya sendiri, terlepas dari instruksi atau dikte Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah.
Sementara di sisi lain, hanya dengan rekognisi dan subsidiaritas, watak feodal dan elitisme penyelenggara Pemerintahan Desa berpeluang untuk muncul kembali (Sutoro Eko, dkk., 2014). Dalam konteks itulah, demokrasi dibutuhkan untuk mengembangkan modal sosial masyarakat Desa dalam berhadapan dan mengelola kekuasaan Desa. Melalui demokrasi pula, dapat diharapkan tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat Desa akan posisinya sebagai sumber serta pemilik kekuasaan yang sejati.
Rekognisi dan subsidiaritas sebagai asas pengaturan Desa membawa implikasi pada desain demokrasi yang dikembangkan di Desa. Demokrasi Desa memiliki titik tekan dan nuansa tersendiri yang tidak dapat disamarupakan dengan demokrasi di tingkat nasional. Hak asal-usul, pola sosio budaya Desa, karakteristik masyarakat Desa, dan kenyataan sosiologis masyarakat Desa menuntut adaptasi dari sistem modern apa pun apabila ingin berjalan di Desa, tidak terkecuali demokrasi.
Desa Sebagai Arena Demokrasi
Demokratisasi Desa setidaknya harus memperhatikan empat hal
berikut;
Pertama, hubungan-hubungan sosial yang ada di Desa terbangun dari
pergaulan sosial secara personal antar sesama penduduk Desa yang telah
berlangsung lama. Bahkan, banyaknya Desa-desa di Indonesia yang usianya jauh
lebih tua dari usia Negara Republik Indonesia menandai bahwa hubungan-hubungan
sosial tersebut telah sangat lama terbentuk.
Apabila nasionalisme atau perasaan kebangsaan di tingkat Negara terbentuk secara imajiner, seperti dinyatakan oleh seorang antropolog, perasaan sebagai sesama orang sedesa tumbuh secara empiris dan personal, yaitu hasil dari pergaulan sehari-hari termasuk dari hubungan kekerabatan. Hubungan-hubungan tersebut sering kali membentuk pola sikap dan tata cara pergaulan. Secara umum misalnya hubungan antara orang yang lebih tua dengan yang lebih muda, saudara dekat dengan saudara jauh, berkerabat atau tidak berkerabat.
Kedua, hubungan Desa dengan ruang juga berlangsung dengan intensitas yang sangat tinggi. Bagi Desa, tanah dan ruang yang mereka tinggali bukan semata-mata ruang mati yang dapat ditinggalkan sewaktu-waktu atau diolah dan diuangkan (dijual) dengan sesuka hati. Ruang bagi Desa sama pentingnya dengan kehidupan itu sendiri. Keterikatan pada ruang tersebut bukan semata-mata bersifat ekonomis, yakni sebagai sumber nafkah, melainkan tidak jarang dibarengi dengan perlakuan ruang sebagai sesuatu yang bernyawa dan hidup. Dari model keterikatan semacam itulah muncul kearifan lokal (local wisdom) yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk tindakan ramah lingkungan masyarakat Desa, penghargaan terhadap tanah, udara, dan air.
Ketiga, pergaulan yang lama, intens, dan berlangsung dalam hubungan serba hidup dengan ruang, menciptakan atau pola sosio budaya Desa yang khas. Kehidupan Desa bukan berlangsung sebagai kumpulan manusia yang berhubungan secara kontraktual dan formal, melainkan sekumpulan manusia yang memiliki pengalaman bersama, sekaligus digerakkan oleh tradisi yang terbentuk dalam lintasan sejarah, dan terikat pada ruang.
Setiap Desa memiliki adat-istiadat, sistem kelembagaan politik tradisional yang berbeda-beda, dan sejarahnya masing-masing. Misalnya, Banyak Desa yang masih mempergunakan trah atau keturunan sebagai rujukan penilaian siapa yang layak menjadi Kepala Desa.
Keempat, solidaritas yang terbentuk di Desa biasanya bersifat mekanis yang kental dengan nuansa kolektivistik. Dalam bentuk solidaritas semacam itu, masyarakat Desa menjadi suatu kategori subyektif tersendiri yang diikat oleh rasa kebersamaan dan saling topang. Masyarakat Desa sebagai subyek atau aktor dapat bertindak sebagaimana individu. Dalam cara pandang modernisasi-pembangunan model orde baru, sifat-sifat Desa yang semacam itu dilihat sebagai penghambat pembangunan. Sebaliknya, dalam UU Desa sifat-sifat itu justru diakui dan diterima sebagai fakta objektif yang memiliki potensi tersendiri bagi kemajuan masyarakat Desa, termasuk dalam hal berdemokrasi.
Titik berangkat demokratisasi Desa, dengan mengacu pada asas rekognisi dan subsidiaritas, ialah mengakui kapasitas Desa sebagai self-governing community komunitas yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan caranya masing-masing yang khas. Kapasitas tersebut, yang bentuknya sangat bervariasi antar Desa, merupakan pintu bagi proses demokratisasi yang lebih masif.
Sebagai contoh, prinsip kekuasaan berada di tangan rakyat atau masyarakat Desa, tidak serta merta ditumbuhkan dengan merusak tatanan perilaku yang mengatur hubungan antara orang yang lebih tua dengan orang yang lebih muda. Atau, untuk meyakinkan bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh siapa pun tanpa mengacu pada keturunan, dapat dilakukan dengan menumbuhkan partisipasi aktif warga dalam menangani kepentingan masyarakat Desa.
Salah satu titik tekan dari kenyataan berdesa yang harus diperhatikan dalam demokrasi Desa adalah sifat kolektivitas masyarakat Desa. Dalam sifat kolektivitas tersebut, masyarakat Desa memiliki kecenderungan umum untuk mendahulukan permusyawaratan daripada pemungutan suara. Komunitas-komunitas lokal di seluruh Indonesia mengenal sistem permusyawaratan itu dalam berbagai nama. Di Jawa dikenal rembug desa, Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri Negeri di Maluku, Gawe Rapah di Lombok, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali, kuppulan atau kakuppulan di Lampung, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga permusyawaratan tersebut sesungguhnya menjadi modal sosial dasar bagi demokrasi, sekaligus pintu masuk bagi demokratisasi Desa tanpa mencederai tradisi Desa.
Dengan kata lain, demokratisasi Desa harus dikembangkan dari kekayaan tradisi Desa sesuai asal usul Desa dan pola sosio budaya masyarakat Desa itu sendiri. Sehingga demokrasi Desa tumbuh hasil pergulatan masyarakat Desa dengan kekayaan sosio budaya yang mereka miliki, bukan cangkokan mentah-mentah dari luar.
DATA BUKU SERIAL BAHAN BACAAN
BUKU 3 : DEMOKRATISASI DESA
PENGARAH : Marwan Jafar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia)
PENULIS : Naeni Amanulloh
REVIEWER : Syaiful Huda, Sutoro Eko, Bito Wikantosa, Anwar Sanusi, Borni Kurniawan, Wahyudin Kessa, Abdullah Kamil, Zaini Mustakim, Eko Sri Haryanto
COVER & LAYOUT : Imambang, M. Yakub
Cetakan Pertama : Maret 2015
Diterbitkan oleh : KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Download Buku Demokratisasi Desa KLIK UNTUK DOWNLOAD
Silakan untuk Download Buku Demokratisasi Desa dan dipelajari , sebagai bekal kita dalam upaya membangun Indonesia Melalui Desa, dengan memiliki pengetahuan mengenai Demokrasi Desa. Semoga bermanfaat. Salam. Ari Sedesa.id
Dowload Buku Lainnya:
Download Buku Kewenangan Desa Dan Regulasi Desa
Download Buku Kepemimpinan Desa