Sedesa.id Di tengah persaingan industri pariwisata yang semakin ketat, kita kerap terjebak pada standar-standar teknis: kemampuan berbicara bahasa asing, keterampilan mengelola tamu, atau kelincahan dalam pemasaran digital. Semua itu penting, tentu saja. Namun apakah itu cukup? Apakah pariwisata yang hanya bertumpu pada kompetensi teknis bisa menciptakan dampak berkelanjutan bagi masyarakat?
Jawabannya: tidak. Pariwisata yang hebat bukan hanya soal layanan, tapi juga soal nilai. Pelaku pariwisata sejati bukan hanya yang cekatan, tapi juga yang berkarakter dan berjiwa sosial. Dan di sinilah konsep Whole Person Paradigm menjadi penting dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang utuh—tidak hanya mahir, tapi juga peduli dan penuh empati.
Artikel ini mengulas pentingnya pendekatan whole person dalam pendidikan dan pembinaan SDM pariwisata, khususnya dalam konteks pengembangan desa wisata. Karena sesungguhnya, masa depan desa tidak cukup dibangun oleh orang pintar—tetapi oleh orang-orang baik, yang tahu bagaimana menerapkan ilmunya dengan hati.
Apa Itu Whole Person Paradigm?
Konsep Whole Person Paradigm (Paradigma Manusia Seutuhnya) menekankan bahwa seseorang tidak cukup hanya berkembang secara intelektual, tetapi juga harus tumbuh secara emosional, sosial, spiritual, dan moral. Paradigma ini berangkat dari pemikiran bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membangun karakter, bukan hanya keterampilan.
Dalam dunia pariwisata, pelaku wisata yang dibentuk dengan pendekatan whole person memiliki ciri-ciri berikut:
- Cerdas secara intelektual: paham tentang sistem pariwisata, pelayanan prima, dan manajemen destinasi.
- Cakap secara emosional: mampu menghadapi komplain wisatawan dengan sabar dan solusi.
- Peduli secara sosial: tidak sekadar mencari untung, tapi juga ingin membangun komunitas.
- Teguh secara etika dan spiritual: jujur, bertanggung jawab, dan menghargai nilai-nilai lokal.
SDM pariwisata seperti ini tidak hanya akan sukses di industri, tetapi juga mampu menjadi penggerak perubahan di desa mereka sendiri.
Insan kampus membantu desa dalam mewujudkan: Lima Pilar Penting Keberhasilan Desa Wisata Berkelanjutan
Mengapa Ini Penting untuk Desa Wisata?
Desa wisata bukan hanya tempat “jualan pemandangan”, tapi juga ruang hidup masyarakat. Wisatawan datang bukan hanya untuk melihat alam, tapi juga untuk merasakan keaslian, kehangatan, dan nilai-nilai lokal. Dan semua itu tidak bisa diberikan oleh pelaku wisata yang hanya sekadar bisa “melayani”.
SDM yang dibentuk dengan whole person paradigm akan:
- Membangun pengalaman wisata yang tulus dan bermakna
- Menjadi jembatan antara tradisi lokal dan ekspektasi wisatawan
- Tidak hanya memikirkan profit, tapi juga dampak sosial dan ekologis
- Berperan sebagai fasilitator komunitas, bukan hanya operator wisata
Dengan kata lain, mereka adalah pembangun desa yang kebetulan bekerja di bidang pariwisata—bukan sebaliknya.
Kampus bisa membantu desa dalam: Membangun Jaringan Desa Wisata
Peran Kampus dalam Membentuk SDM Seutuhnya
Perguruan tinggi pariwisata memegang peran sentral dalam menciptakan generasi pelaku pariwisata yang utuh. Tapi untuk itu, kampus harus berani melampaui kurikulum teknis, dan menyentuh dimensi kemanusiaan dalam proses pembelajarannya.
Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan kampus:
- Menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis nilai (value-based education)
Misalnya: mata kuliah pariwisata berkelanjutan harus disertai dengan praktik empati terhadap masyarakat. - Memberi ruang pada kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat
Seperti program KKN tematik, pendampingan UMKM, atau live-in di desa wisata. - Menghadirkan dosen atau narasumber yang inspiratif dan membumi
Yang tidak hanya bercerita tentang sukses karier, tapi juga perjalanan mengabdi di komunitas.
Kampus harus menciptakan suasana yang menumbuhkan rasa bangga untuk pulang, dan semangat untuk membangun—bukan hanya semangat untuk keluar negeri.
Baca juga! Kewajiban Kampus dalam Pembangun Desa Wisata

Desa Butuh SDM yang Cerdas dan Berhati Luhur
Desa wisata yang berkelanjutan hanya akan lahir jika dikelola oleh SDM yang tidak hanya terampil, tapi juga berhati. Kita butuh orang-orang yang tak hanya tahu cara membuat paket wisata, tapi juga tahu bagaimana menyapa tamu dengan penuh cinta; orang-orang yang tak hanya bisa membuat konten viral, tapi juga peduli terhadap petani lokal.
Konsep whole person bukan sekadar teori, tapi kebutuhan mendesak di tengah wajah pariwisata yang sering kali kehilangan makna. Karena kalau semua hanya bicara untung-rugi, siapa yang akan menjaga nilai dan kehidupan di desa?
Sebagai penulis, saya percaya bahwa desa tidak butuh orang sempurna. Desa hanya butuh orang-orang yang terus tumbuh—dalam keterampilan, dalam empati, dan dalam cinta terhadap tanah kelahiran.
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Sinek, S. (2009). Start With Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action.
- Sujana, K. (2021). Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Pariwisata Berbasis Desa. Jurnal Pendidikan Terapan.