Sedesa.id Saat berbicara tentang keberhasilan desa wisata, banyak yang langsung terbayang angka kunjungan wisatawan, berapa homestay yang penuh, atau seberapa viral desa itu di media sosial. Padahal, keberhasilan sejati dari desa wisata bukan hanya soal jumlah tamu, tetapi daya tahan, daya hidup, dan dampak nyata bagi masyarakatnya.
Desa wisata yang berkelanjutan adalah desa yang tetap bisa berjalan meski tidak ada wisatawan. Ia adalah desa yang terus tumbuh karena warganya berdaya, struktur pengelolaannya sehat, dan tata kelolanya transparan. Salah satu konsep yang menarik dan aplikatif dalam hal ini adalah IITCA: Integrative, Interactive, Transparency, Controlling, Accountability. Lima pilar inilah yang disebut dalam buku Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata sebagai fondasi desa wisata yang kokoh dan tahan banting, apalagi setelah pandemi.
Artikel ini akan membedah satu per satu elemen IITCA dan bagaimana penerapannya dapat mengubah wajah desa wisata dari sekadar tempat singgah, menjadi ruang hidup yang penuh masa depan.
1. Integrative: Semua Pihak Harus Terlibat
Pilar pertama adalah Integrative atau keterpaduan. Artinya, pengelolaan desa wisata harus menyatukan semua komponen yang ada: pemerintah desa, kelompok sadar wisata (pokdarwis), masyarakat umum, pelaku UMKM, pemilik lahan, hingga anak muda dan lansia. Tidak boleh ada yang merasa ditinggalkan atau tidak dilibatkan.
Keterpaduan ini bisa dimulai dari perencanaan. Misalnya, saat desa ingin membangun jalur trekking, masyarakat pemilik lahan dilibatkan sejak awal, bukan hanya diberi kabar ketika proyek sudah berjalan. Atau saat desa menyusun paket wisata, para ibu-ibu pengrajin dan petani dilibatkan untuk menciptakan pengalaman autentik yang sesuai dengan potensi lokal.
Desa yang integratif juga memiliki semangat gotong royong tinggi. Setiap orang merasa punya peran. Bahkan, kalau ada masalah pun—seperti sampah wisata, konflik penggunaan lahan, atau turunnya minat wisatawan—semua pihak ikut berpikir mencari solusi.
Baca juga: Strategi Bertahan dan Bangkit Desa Wisata
2. Interactive: Desa Wisata yang Terbuka dan Aktif Berkomunikasi
Pilar kedua adalah Interactive, atau bersifat interaktif. Desa wisata yang interaktif adalah desa yang aktif berdialog, tidak hanya dengan masyarakat internal, tetapi juga dengan wisatawan, mitra, bahkan pihak luar yang punya kepentingan terhadap desa.
Salah satu bentuk keinteraktifan yang penting adalah bagaimana desa merespons masukan wisatawan. Desa yang baik tidak hanya menerima tamu, tapi juga mengevaluasi pelayanan berdasarkan umpan balik yang mereka berikan. Apakah wisatawan merasa puas? Apakah mereka merasa dilayani dengan hangat? Apakah mereka ingin kembali?
Interaktivitas juga berarti aktif di ruang digital. Desa wisata tidak boleh pasif menunggu wisatawan datang. Mereka bisa membuat konten edukatif, membagikan cerita di media sosial, membuka jalur komunikasi melalui WhatsApp, Google Review, atau bahkan sesi virtual tour.
Di tingkat lokal, interaktivitas terjadi lewat pertemuan rutin antar warga dan pengelola, dialog terbuka antar generasi, serta pelibatan anak muda sebagai juru bicara digital desa. Semua pihak punya saluran komunikasi yang sehat dan konstruktif.
Belajar digital mareting untuk desa wisata: Panduan Digital Mareking Desa Wisata Lengkap
3. Transparency: Terbuka dalam Pengelolaan dan Anggaran
Transparency atau keterbukaan adalah pilar yang sangat krusial, terutama dalam mengelola uang dan aset desa wisata. Tidak sedikit desa wisata yang akhirnya kehilangan kepercayaan warga hanya karena tidak jelasnya ke mana aliran dana wisata masuk dan digunakan.
Desa wisata harus memiliki sistem pelaporan keuangan yang sederhana, terbuka, dan bisa dipahami warga. Tidak perlu rumit, cukup dengan papan informasi atau grup WhatsApp desa yang rutin menginformasikan pengeluaran dan pemasukan dari kegiatan wisata.
Keterbukaan juga berlaku pada keputusan strategis. Misalnya, ketika desa ingin menetapkan tarif masuk atau membentuk paket wisata baru, keputusan tersebut tidak boleh sepihak. Transparansi menciptakan kepercayaan, dan kepercayaan adalah mata uang paling berharga dalam pembangunan berbasis komunitas.
Bagaimana pengembangan desa berbasis masyarakat? Silakan baca: Pengembangan Desa Berbasis Masyarakat
4. Controlling: Ada Mekanisme Pengawasan yang Jelas
Pilar keempat adalah Controlling, atau pengendalian. Ini bukan berarti desa harus kaku atau otoriter, melainkan memiliki sistem pengawasan yang membuat semua aktivitas berjalan sesuai nilai dan aturan yang telah disepakati bersama.
Contoh bentuk kontrol yang baik misalnya adalah SOP (standar operasional prosedur) pelayanan wisata, jadwal petugas jaga lokasi, sistem pemesanan homestay, atau pengawasan kebersihan kawasan wisata. Ini juga termasuk pengawasan kualitas produk oleh UMKM lokal agar tidak mengecewakan wisatawan.
Pengawasan juga berlaku pada perilaku wisatawan. Desa harus punya aturan tentang etika kunjungan, misalnya larangan merusak situs budaya, membuang sampah sembarangan, atau mengambil foto tanpa izin. Aturan ini harus dipasang dengan bahasa yang ramah namun tegas.
Dengan controlling yang baik, desa tidak kehilangan arah, dan setiap pihak tahu batasannya.
5. Accountability: Bertanggung Jawab dan Siap Dievaluasi
Terakhir, Accountability atau akuntabilitas. Ini adalah bentuk komitmen desa untuk tidak hanya menjalankan program, tapi juga bertanggung jawab atas hasil dan dampaknya.
Desa wisata yang akuntabel tidak alergi terhadap kritik. Mereka justru membuka ruang evaluasi dan siap belajar dari kesalahan. Misalnya, jika satu program gagal karena kurang sosialisasi, maka ke depan perencanaan akan lebih matang.
Akuntabilitas juga berarti desa punya dokumentasi yang rapi: mulai dari arsip kegiatan, laporan keuangan, testimoni wisatawan, hingga rekaman musyawarah. Ini penting untuk menunjukkan bahwa semua langkah pembangunan bisa dipertanggungjawabkan, baik kepada masyarakat, mitra, maupun pemerintah.
Pilar ini menjadi cermin integritas desa: semakin tinggi akuntabilitas, semakin besar kepercayaan yang akan didapat.
Baca juga: Masyarakat Sebagai Pelaku Utama Kegiatan Desa Wisata
Lima Pilar untuk Desa yang Mandiri dan Berkelanjutan
Konsep IITCA bukan sekadar istilah keren dari ranah akademik. Ia adalah panduan praktis, sekaligus prinsip hidup yang bisa diterapkan oleh desa wisata manapun yang ingin bertumbuh secara adil, berkelanjutan, dan mandiri.
Dalam dunia yang berubah cepat, desa wisata perlu fondasi yang kokoh. Jumlah wisatawan bisa naik-turun, tren bisa berganti, tapi jika sistem tata kelola desa kuat, maka desa itu tidak akan mudah goyah. Dengan Integratif, Interaktif, Transparan, Kontrol yang baik, dan Akuntabel, desa wisata akan tumbuh menjadi pusat inovasi yang berakar pada budaya dan menyentuh masa depan.
Sebagai pegiat desa dan penulis, saya percaya bahwa konsep IITCA adalah jembatan antara nilai tradisional dan manajemen modern. Ia bukan hanya menjaga agar desa tetap hidup, tapi juga agar tetap bermakna—bagi warganya, bagi wisatawan, dan bagi Indonesia.
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Rianto, dkk. (2021). IITCA dalam Pengelolaan Desa Wisata Berbasis Masyarakat. Jurnal Inovasi Penelitian.
- Santika, E.E. (2017). Partisipasi Masyarakat dan Strategi Tata Kelola Desa Wisata. Universitas Kristen Satya Wacana.