Sedesa.id Di tengah kebutuhan tenaga kerja industri pariwisata global yang semakin tinggi, banyak perguruan tinggi pariwisata berlomba mencetak lulusan yang siap kerja—terampil, cepat, dan efisien. Mereka disiapkan untuk bekerja di hotel-hotel berbintang, kapal pesiar mewah, atau pusat-pusat wisata internasional. Namun, apakah itu cukup?
Jika kita menilik kembali hakikat pendidikan tinggi, maka fungsinya bukan hanya mencetak pekerja, tetapi membentuk manusia yang utuh, yang bisa menjadi penggerak perubahan sosial. Pendidikan tinggi pariwisata seharusnya bukan sekadar jalur menuju pekerjaan, tapi jembatan menuju pengabdian, terutama untuk desa-desa yang sedang bangkit lewat pariwisata.
Artikel ini ingin menyuarakan gagasan bahwa kampus pariwisata harus bertransformasi, dari yang hanya menyiapkan tenaga kerja, menjadi ruang pembinaan insan pariwisata yang juga berakar kuat pada nilai lokal, sosial, dan keberlanjutan. Karena masa depan pariwisata bukan hanya soal destinasi, tapi juga tentang siapa yang menjalankan dan menghidupkannya.
Kampus sebagai Penghasil “Manusia Pariwisata” yang Berkarakter
Jika hanya mengandalkan skill teknis seperti cara menyambut tamu, membuat paket wisata, atau mengelola reservasi, maka robot dan teknologi akan dengan mudah menggantikan peran manusia. Tapi ketika SDM pariwisata dibentuk tidak hanya dari sisi kompetensi, melainkan juga karakter, empati, dan jiwa sosial, maka lahirlah insan pariwisata sejati.
Di sinilah pentingnya kampus menjadi ruang pembentukan whole person—manusia pariwisata yang:
- Tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga bijak dalam keputusan sosial
- Tidak hanya terampil dalam pelayanan, tapi juga tulus dalam pengabdian
- Tidak hanya berorientasi karier pribadi, tapi juga punya komitmen membangun komunitas
Pendidikan pariwisata yang humanis dan membumi inilah yang akan menjadi fondasi bagi desa wisata yang inklusif dan berdaya.
Insan kampus membantu desa dalam mewujudkan: Lima Pilar Penting Keberhasilan Desa Wisata Berkelanjutan
Desa: Laboratorium Nyata Pendidikan Pariwisata
Kampus pariwisata bisa menjadi ruang belajar yang luar biasa, tapi desa adalah ruang praktik yang sesungguhnya. Di desa, mahasiswa dan dosen bisa melihat langsung bagaimana kearifan lokal hidup berdampingan dengan tantangan modern. Mereka bisa belajar bukan hanya dari buku, tapi dari interaksi sosial, budaya, dan alam.
Sayangnya, selama ini desa sering hanya menjadi “lokasi penelitian” atau tempat magang singkat tanpa kesinambungan. Sudah saatnya desa diposisikan sebagai mitra strategis kampus, bukan objek studi semata.
Beberapa bentuk kolaborasi yang dapat diperkuat antara kampus dan desa:
- Kampus membina desa wisata secara berkelanjutan: dari perencanaan hingga evaluasi
- Dosen dan mahasiswa terlibat dalam pengembangan program wisata berbasis potensi lokal
- Desa menjadi tempat praktik kewirausahaan mahasiswa, misalnya membuka homestay, café lokal, atau marketplace digital desa
- Riset kampus diarahkan untuk menyelesaikan masalah konkret di desa
Dengan begitu, kampus tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, tapi juga siap kembali dan berkarya di desanya sendiri.
Kampus bisa membantu desa dalam: Membangun Jaringan Desa Wisata
Menggeser Orientasi: Dari Mengejar Karier ke Membangun Kontribusi
Salah satu tantangan dunia pendidikan pariwisata saat ini adalah dominasi narasi “kerja ke luar negeri”, “gaji besar”, dan “karier cepat naik”. Padahal, yang lebih dibutuhkan desa-desa wisata hari ini adalah anak-anak muda yang mau menetap, mau merawat, dan mau membangun dari akar rumput.
Tentu tidak salah ingin sukses secara materi. Tapi akan jauh lebih bermakna jika kesuksesan itu juga membawa dampak bagi komunitas asal. Lulusan kampus yang kembali ke desa bisa menjadi:
- Pelatih warga desa dalam pelayanan wisata
- Pendamping UMKM lokal
- Penggagas atraksi wisata baru
- Jembatan digitalisasi desa wisata
Kampus bisa mengarahkan lulusan agar tidak hanya berpikir “di mana saya bisa kerja?”, tapi juga “apa yang bisa saya bangun untuk komunitas saya?”
Baca contoh inspiratif dari Bali: Ngayah ring Desa, Sarjana Pariwisata Pulang untuk Membangun Desa

Kampus Harus Melahirkan Pemimpin Lokal, Bukan Sekadar Karyawan Global
Kita butuh lebih banyak kampus pariwisata yang menanamkan kesadaran bahwa pariwisata bukan sekadar bisnis, tetapi juga jalan pengabdian sosial dan pelestarian budaya. Kampus harus menjadi ruang yang tidak hanya mengajarkan cara menjadi sukses, tapi juga untuk siapa kesuksesan itu digunakan.
Ketika kampus berhasil mencetak lulusan yang tidak hanya mengejar posisi di hotel berbintang, tetapi juga mau pulang untuk membangun desanya, maka di situlah misi pendidikan tinggi benar-benar tercapai. Mereka bukan hanya karyawan global, tetapi juga pemimpin lokal yang membawa perubahan.
Sebagai penulis dan alumni kampus, saya percaya bahwa peradaban desa bisa dibangun dengan dua hal: pengetahuan dan cinta. Dan keduanya bisa lahir di kampus—jika kita mendidik dengan hati, bukan hanya dengan target capaian akademik.
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Heryanto, B. (2021). Kampus dan Desa Wisata: Kemitraan dalam Pendidikan Transformatif.
- Suardana, I.B. (2020). Pariwisata Berbasis Nilai dan Masa Depan Pendidikan Vokasi.