Sedesa.id Sejak kali pertama narasi pembentukan Koperasi Desa Merah Putih dilontarkan, pro kontra langsung bermunculan. Tidak heran, karena memang selain memiliki anggaran yang sangat besar, ada syarat motif yang belum terurai, masih abu-abu, belum benar-benar terlihat Merah dan Putih.
Bayangkan sebuah desa yang memiliki koperasi aktif—menyediakan sembako, menyerap hasil tani warga, menjadi tempat simpan pinjam yang adil, dan bahkan memiliki outlet layanan kesehatan. Inilah gambaran ideal dari Koperasi Desa Merah Putih, program ambisius yang diluncurkan pemerintah dengan target pembentukan 80.000 koperasi desa/kelurahan di seluruh Indonesia.
Namun, seperti banyak program besar lainnya, di balik euforia dan optimisme, juga terselip kekhawatiran dan pertanyaan. Apakah program ini benar-benar bisa menjawab kebutuhan desa? Atau justru menjadi beban administratif baru yang sulit dijalankan di lapangan?
Mari kita lihat dari dua sisi.
Di Sisi Pro: Harapan Besar dari Akar Rumput
Program ini lahir dari kepedulian atas ketimpangan ekonomi antara desa dan kota. Presiden Prabowo bahkan menjadikan koperasi sebagai salah satu pilar menuju Indonesia Emas 2045, dengan fokus pada swasembada pangan dan ekonomi kerakyatan.
Pendukung program ini menyampaikan beberapa poin utama:
- Koperasi sebagai penggerak ekonomi lokal: Selama ini banyak desa tergantung pada pihak luar, baik untuk distribusi pangan, permodalan, hingga pemasaran hasil bumi. Dengan koperasi yang dikelola sendiri, desa bisa lebih mandiri.
- Penyederhanaan model pembentukan: Tidak semua desa harus mulai dari nol. Desa yang sudah memiliki koperasi bisa mengembangkan atau merevitalisasi yang lama. Artinya, program ini cukup fleksibel dan kontekstual.
- Sinergi lintas kementerian dan pendanaan serius: Mulai dari APBN, APBD, hingga dana desa bisa digunakan untuk mendukung koperasi ini. Bahkan Bank Himbara dilibatkan untuk urusan permodalan.
Sebagaimana disampaikan oleh Budi Arie Setiadi, Menteri Koperasi dan UKM, dalam keterangannya pada 7 Maret 2025:
“Rentenir, tengkulak, dan pinjaman online ini menjadi sumber kemiskinan di desa. Karena koperasi desa adalah salah satu unit koperasi simpan pinjam, masyarakat akan terbantu dari sisi pendanaan dan tidak terjerat lingkaran setan itu.” dikutip dari kompas.com 7 Maret 2025
Lalu apakah Koperasi Desa Merah Putih: Apakah Akan Berhasil?
Di Sisi Kontra: Kekhawatiran di Lapangan
Namun tidak sedikit yang skeptis, terutama mereka yang memiliki pengalaman dengan program-program besar dari atas ke bawah (top-down).
Beberapa kritik yang mengemuka:
- Koperasi bukan sekadar formalitas administratif: Membuat akta dan menyusun struktur memang mudah. Tapi menggerakkan koperasi yang sehat secara bisnis, partisipatif, dan dipercaya masyarakat—itu tantangan besar. Banyak koperasi sebelumnya hanya aktif saat RAT, atau bahkan mati suri setelah beberapa tahun.
- SDM Desa Masih Terbatas: Tidak semua desa memiliki kapasitas SDM untuk mengelola koperasi, terutama dalam hal manajemen keuangan, pelaporan, dan pengembangan usaha. Apalagi jika program ini bersifat “kejar target”, bukan “bangun kapasitas”.
- Potensi tumpang tindih dengan BUMDes: Banyak desa sudah memiliki BUMDes yang fungsinya serupa koperasi. Bagaimana koordinasi dan batas perannya? Apakah Koperasi Desa Merah Putih akan bersaing, saling melengkapi, atau justru membingungkan?
Dwinanto, Kepala Desa Krandegan, Kecamatan Bayan, Purworejo, menyampaikan kekhawatirannya:
“Kenapa harus bikin lembaga baru? Bukankah sudah ada BUMDes dan Bumdesma yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi program utama Kementerian Desa? Apakah setiap rezim baru harus mengeluarkan produk baru?” dikutip dari kompas.com 10 Maret 2025
Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik, juga mempertanyakan urgensi pembentukan Kopdes Merah Putih:
“Dengan peran yang mirip, kehadiran koperasi desa justru bisa menciptakan kompetisi yang tidak sehat di tingkat desa, memecah sumber daya yang seharusnya bisa dikonsolidasikan, serta menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran negara.” dikutip dari desamerdeka.id 10 Maret 2025
Baa juga: Perbedaan BUMDes dan Koperasi: Mana yang Cocok untuk Desa Anda?
Optimisme Kritis Itu Perlu
Sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan desa dan sering bersentuhan dengan program-program pemberdayaan, saya melihat program Koperasi Desa Merah Putih ini sebagai peluang besar yang tidak boleh kita lewatkan. Namun bukan juga kita terima begitu saja, perlu kita melihat dan mengkritisi.
Koperasi di Indonesia memang unik, karena ragam dukungan pemerintah yang hadir di tubuh koperasi; Undang-undang, Perpu, Inpres, dan ragam aturan untuk koperasi dihadirkan. Tujuannya “memberi ruang kepastian danal pengembangan koperasi” sebagai kata ganti mendisiplinkan alias Top Down pada akhirnya.
Di luar bahwa setiap program dan kebijakan memilik motif tak terlihat. Namun bersiap penting dilaukan. Jika Koperasi Desa Merah Putih dimaknai sebagai memberi peluang lebih besar. Tapi peluang ini tidak akan berubah menjadi prestasi jika kita hanya sibuk di atas kertas.
Koperasi hanya akan hidup jika:
- Dimiliki oleh warga, bukan sekadar proyek pemerintah.
- Dikelola secara profesional, bukan asal tunjuk pengurus.
- Didampingi secara serius, bukan hanya disosialisasikan sekali lalu dibiarkan.
- Saya percaya, ketika desa diberi ruang untuk berkembang sesuai karakteristik lokalnya—dan bukan sekadar diseragamkan—maka koperasi bisa menjadi tulang punggung ekonomi desa. Tapi itu harus dibarengi dengan pembangunan SDM, pelatihan intensif, dan evaluasi berkelanjutan.
Kita boleh semangat menyambut program ini. Tapi kita juga perlu menjadi kritis dan aktif mengawal, agar semangat gotong royong tidak berubah menjadi gotong formalitas.
Koperasi Desa Merah Putih adalah langkah besar. Tapi sebesar apa pun langkah dari pusat, yang paling menentukan tetaplah kita—masyarakat desa itu sendiri. Jika kita terlibat, mendampingi, dan mengawal, maka koperasi ini bisa menjadi kisah sukses pembangunan dari desa, oleh desa, dan untuk desa.