Sedesa.id Di tengah derasnya arus urbanisasi dan impian kerja di luar negeri, masih ada secercah harapan yang tumbuh dari desa-desa kecil di pelosok Indonesia. Harapan itu muncul saat seorang lulusan perguruan tinggi pariwisata memilih untuk pulang ke kampung halamannya—bukan karena tidak ada pilihan lain, tetapi karena ingin mengabdi. Inilah yang disebut dengan semangat “Ngayah ring Desa”, sebuah konsep pengabdian yang lahir dari budaya Bali dan kini menginspirasi banyak gerakan pembangunan berbasis komunitas.
Ngayah ring Desa bukan sekadar pulang kampung. Ia adalah wujud tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual lulusan pendidikan tinggi kepada tempat di mana mereka berasal. Dalam konteks pariwisata, lulusan yang membawa pengetahuan tentang pelayanan, pemasaran, dan pengelolaan wisata bisa menjadi agen perubahan bagi desanya. Ketika ilmu bertemu akar budaya, yang lahir bukan sekadar wisata, tapi transformasi sosial yang berkelanjutan.
Artikel ini mengangkat bagaimana konsep Ngayah ring Desa bisa menjadi alternatif arah karier bagi para lulusan perguruan tinggi pariwisata, sekaligus menjawab tantangan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Ini adalah ajakan untuk pulang, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara visi dan misi hidup.
Memahami Makna Ngayah: Dari Budaya Menuju Gerakan Pembangunan
Dalam budaya Bali, ngayah berarti melakukan sesuatu dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih, sebagai bentuk bakti kepada masyarakat, adat, dan lingkungan. Biasanya, ngayah dilakukan saat ada upacara, gotong royong, atau kebutuhan desa. Namun dalam konteks modern, makna ngayah bisa diperluas sebagai bentuk kontribusi nyata untuk pembangunan desa.
Ketika seorang lulusan kampus pariwisata memutuskan untuk kembali ke desa dan membangun homestay, mengelola wisata alam, atau melatih pemuda setempat, itu juga termasuk ngayah. Ia menyumbangkan ilmunya demi kemajuan bersama. Tidak menunggu proyek dari pemerintah, tidak menuntut gaji besar, tapi bergerak karena cinta terhadap tanah kelahiran.
Beberapa prinsip ngayah yang relevan untuk gerakan membangun desa:
- Tanpa pamrih, tapi penuh nilai
- Bersifat kolektif, bukan individu
- Berorientasi pada kebermanfaatan bersama, bukan profit semata
- Menguatkan rasa memiliki desa sebagai bagian dari identitas diri
Baca juga: Membangun Jaringan Desa Wisata
Lulusan Pariwisata: Modal Kunci Pembangunan Desa Wisata
Perguruan tinggi pariwisata menghasilkan lulusan yang dibekali banyak keterampilan teknis—dari manajemen destinasi, pelayanan tamu, perencanaan paket wisata, hingga digital marketing. Sayangnya, mayoritas dari mereka justru terserap ke industri pariwisata di kota besar atau luar negeri, dan hanya sedikit yang kembali ke desa.
Padahal, desa wisata membutuhkan SDM berkualitas. Tantangan utama desa adalah kurangnya kapasitas pengelolaan, promosi yang lemah, dan belum terbangunnya sistem layanan yang profesional. Kehadiran alumni kampus pariwisata bisa menjadi jawabannya, terutama jika mereka memahami:
- Cara menciptakan pengalaman wisata berbasis cerita lokal
- Strategi mengelola homestay dan atraksi wisata yang berdaya saing
- Teknik membangun jejaring dan kemitraan untuk pengembangan desa
Bila satu lulusan saja bisa mengubah wajah satu desa, bayangkan jika ada gerakan masif yang mendorong ratusan alumni untuk ngayah ring desa. Desa-desa wisata di Indonesia akan memiliki daya saing dan identitas yang lebih kuat di tengah pasar pariwisata global.
Tulisan sebelumnya: Solusi Cerdas untuk Tantangan Desa Wisata: Alam, Manusia, dan Energi
Kisah Inspiratif: Ketika Pulang Kampung Menjadi Langkah Maju
Tidak sedikit kisah sukses yang lahir dari semangat kembali ke desa. Seorang alumni kampus pariwisata di Bali, misalnya, memilih pulang ke desa Taro dan mendirikan komunitas wisata spiritual berbasis hutan. Ada pula lulusan dari Yogyakarta yang kembali ke lereng Merapi dan mengembangkan wisata edukasi bencana dengan pendekatan storytelling.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pulang ke desa bukan kemunduran karier, tetapi justru langkah maju yang penuh nilai. Mereka tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga merawat budaya, menghidupkan ekonomi lokal, dan memberikan harapan baru bagi generasi muda di desa.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah-kisah tersebut?
- Ilmu yang tinggi tidak akan berguna jika tidak membumi
- Membangun desa tidak harus menunggu jabatan, cukup dengan tindakan kecil yang konsisten
- Kolaborasi antara alumni, warga desa, dan pemerintah lokal adalah kunci keberhasilan
Bagian penting yang wajib kamu tahu: Lima Pilar Penting Keberhasilan Desa Wisata Berkelanjutan

Ngayah ring Desa sebagai Gerakan Sosial Baru
Konsep Ngayah ring Desa adalah pengingat bahwa desa bukan hanya tempat asal, tetapi juga tempat tujuan. Ketika lulusan perguruan tinggi pariwisata memilih untuk kembali dan mengabdi, mereka tidak sedang menurunkan level hidupnya. Justru mereka sedang menaikkan martabat komunitasnya.
Kita perlu memandang pembangunan desa bukan sekadar proyek fisik, tetapi sebagai gerakan moral dan spiritual. Di sinilah semangat ngayah menjadi penting: membangun dengan hati, bukan hanya dengan uang; membangun dengan empati, bukan sekadar strategi.
Sebagai penulis dan pemerhati desa, saya percaya bahwa masa depan desa wisata Indonesia ada di tangan para alumni yang berani pulang. Pulang membawa ilmu, pulang dengan kesadaran, dan pulang untuk bersama-sama membangun. Mari kita dorong lebih banyak lulusan untuk melihat desa sebagai panggung utama kontribusi mereka.
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Widiastuti, N. (2021). Konsep Ngayah dan Pemberdayaan Desa dalam Pariwisata Bali. Jurnal Pariwisata Nusantara.
- Wahyudi, A. (2020). Pulang untuk Membangun: Refleksi Alumni Pariwisata di Desa. Artikel Independen.