BUMDes Banking. BUMDes yang bertipe banking atau semacam lembaga keuangan mikro sebenarnya hadir paling awal sebelum hadir BUMDes tipe-tipe lain, bahkan sebelum istilah BUMDes itu sendiri lahir. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang hadir dalam desa adat di Bali merupakan contoh village banking yang terkemuka
Belakangan sejumlah kabupaten membentuk BUMDes LKM secara mudah, sederhana dan serentak di seluruh desa, dengan tujuan yang seragam: mengurangi jeratan warga masyarakat dari rentenir sekaligus mempermudah akses kredit bagi warga masyarakat terutama kaum miskin. Institusi LKM yang prematur ini serupa dengan berbagai dana proyek dana bergulir yang dijalankan oleh pemerintah seperti SPP PNPM Mandiri.
Ditinjau dari sisi rezim keuangan dan perbankan, BUMDes LKM itu sungguh rentan karena tidak memiliki badan hukum sebagai dasar akuntabilitas. Tetapi persoalan dasarnya bukan terletak pada isu legal standing tetapi pada kinerja dan daya tahan BUMDes LKM. Studi FPPD (2010) di Bima, Dompu dan Lombok Barat menunjukkan bahwa BUMDes LKM yang dibentuk secara cepat oleh pemerintah daerah, umumnya mengalami kegagalan dalam waktu cepat akibat dari kredit macet.
Mengapa hal tersebut di atas dapat terjadi? Pertama, kepemilikan masyarakat yang lemah. Ada anggapan kuat dari masyarakat bahwa modal yang diberikan Pemda kepada BUMDes LKM merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan. Ini disebut sebagai capture secara berjamaah. Kedua, kesiapan institusional BUMDes LKM yang sangat lemah.
Studi Sutoro Eko dan Borni Kurniawan (2010) di Gowa juga menemukan bahwa pilot project Pos Tabungan Masyarakat (Postama) juga membuahkan kegagalan. Pilot project di 13 desa, sejumlah 12 desa diantaranya gagal total, sedangkan 1 postama di Desa Bonto Biraeng membuahkan keberhasilan dan keberhasilan.
Ada empat faktor penting yang menyebabkannya. Pertama,postama bekerja dalam ranah politik inklusif yang mampu menembus batas-batas politik parokhial. Kepala desa membentuk dan mengontrol postama secara inklusif, mengabaikan ikatan parokhial yang ia yakini bisa merusak postama. Kedua,kepemimpinan yang kuat dari kepala desa dan pengurus postama. Ketiga, kapasitas manajerial internal postama yang baik. Keempat, kemampuan postama Biraeng membangun jaringan keluar yang lebih luas, termasuk dukungan dari Dana Bank Syariah.
Jika BUMDes LKM belum tumbuh menggembirakan, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali merupakan yang terbaik di sistem LDKP di Indonesia, walaupun terdapat kompetisi yang kuat di tingkat lokal dari banyaknya lembaga formal dan informal.
LPD dipandang sebagai entitas yang menguntungkan, di mana bergantung pada tabungan dan deposito sebagai sumber pendanaan. LPD didirikan oleh Gubernur Ida Bagus Mantra pada tahun 1985, sebagai lembaga keuangan pedesaan berbasis desa adat, yang memiliki peran ekonomi dan sosial di komunitas tersebut.
Modal awal LPD di Bali merupakan hibah dari Gubernur sebesar Rp 2,5 juta pada setiap LPD. Keanggotaan berdasarkan “Banjar” dan desa pakraman, merupakan unit terpenting dari organisasi sosial di masyarakat Bali. Solidaritas sosial yang mengakar ini merupakan syarat penting keberhasilan dari sistem LPD.
Sumber: Policy Paper “ Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan” : Sutoro Eko bersama Tim FPPD
Terkait