Sedesa.id Pandemi Covid-19 adalah peristiwa global yang mengguncang hampir semua sektor kehidupan. Dunia pariwisata, termasuk desa wisata, menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Dalam sekejap, arus wisatawan berhenti. Homestay yang biasanya ramai, mendadak sepi. Atraksi budaya dihentikan, festival lokal dibatalkan, dan masyarakat desa yang menggantungkan hidup dari pariwisata harus kembali mencari cara bertahan.
Namun seperti pepatah, “di balik musibah selalu ada hikmah”. Pandemi ini juga menjadi titik balik yang membuka mata banyak pihak, bahwa ketahanan desa wisata tidak bisa hanya bergantung pada jumlah kunjungan wisatawan.
Lebih dari itu, ketahanan harus dibangun dari dalam: dari semangat kolaborasi, inovasi lokal, dan kekuatan komunitas. Banyak desa mulai memikirkan kembali arah pembangunan mereka—bukan hanya untuk pulih, tetapi untuk bangkit menjadi lebih tangguh dari sebelumnya.
Artikel ini mencoba mengulas strategi bertahan dan bangkitnya desa wisata pasca pandemi, berdasarkan refleksi dari buku Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata (Politeknik Pariwisata Bali, 2022) dan berbagai pengalaman lapangan yang menginspirasi. Harapannya, artikel ini bisa menjadi bahan pembelajaran dan dorongan semangat bagi pelaku pariwisata desa di seluruh Indonesia.
Pandemi dan Kerentanan Desa Wisata
Ketika pandemi menghantam, sektor pariwisata adalah yang paling pertama terhenti dan yang paling terakhir pulih. Desa wisata pun tak luput dari badai ini. Banyak kegiatan wisata berhenti total, termasuk operasional homestay, layanan pemandu, usaha kuliner lokal, hingga kegiatan seni budaya. Tidak hanya pendapatan desa yang terhenti, tapi juga aktivitas sosial masyarakat ikut terganggu.
Dampak tersebut tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan psikologis. Banyak warga desa wisata kehilangan penghasilan utama, sehingga terpaksa kembali bertani atau mencari pekerjaan lain. Kegiatan adat pun turut dibatasi karena protokol kesehatan. Bahkan, beberapa desa mulai kehilangan semangat untuk mengembangkan pariwisatanya karena rasa frustrasi dan kelelahan.
Namun yang menarik, justru dalam kondisi penuh tekanan inilah muncul kekuatan-kekuatan baru di tengah masyarakat. Beberapa desa wisata mulai memunculkan inovasi untuk bertahan: dari mengubah homestay jadi tempat isolasi, menjual produk desa lewat daring, hingga menyusun ulang strategi branding desa. Inilah titik awal dari perubahan—bahwa desa wisata tidak boleh hanya bergantung pada kunjungan wisatawan, tetapi juga pada kapasitas dan solidaritas warga desanya.
Baca juga: Desa Wisata di Era Digital: Siapkah Digitalisasi Menyentuh Pedesaan?
Strategi Bertahan: Menguatkan Fondasi dari Dalam
Langkah pertama yang diambil banyak desa wisata selama masa pandemi adalah penyelamatan sumber daya internal. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi kembali potensi lokal yang tidak tergantung pada keramaian wisatawan. Misalnya, desa yang memiliki produk unggulan seperti kopi, kerajinan bambu, atau rempah-rempah, mulai fokus mengembangkan usaha mikro berbasis komunitas.
Selain itu, banyak desa wisata memulai transformasi digital sederhana. Pemasaran produk dilakukan lewat media sosial dan marketplace. Layanan reservasi homestay mulai dicoba melalui WhatsApp Business. Bahkan, beberapa desa melakukan live streaming kegiatan adat atau pertunjukan seni sebagai upaya menjaga eksistensi sekaligus menjangkau wisatawan secara virtual.
Langkah penting lainnya adalah penataan manajemen internal. Pokdarwis dan pengelola desa wisata melakukan refleksi dan evaluasi menyeluruh. Apakah program yang selama ini dijalankan benar-benar memberdayakan masyarakat? Apakah sudah ada SOP layanan wisata? Apakah sistem keuangan desa wisata sudah transparan dan akuntabel? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bekal penting untuk bangkit secara berkelanjutan.
Strategi Bangkit: Kolaborasi, Digitalisasi, dan Diversifikasi
Setelah masa darurat mereda, fokus desa wisata mulai bergeser ke tahap pemulihan dan kebangkitan. Strategi utama yang banyak diadopsi adalah kolaborasi multipihak. Pemerintah, kampus, LSM, dan swasta diajak untuk membangun program bersama yang tidak hanya memberi bantuan jangka pendek, tetapi juga mendorong inovasi jangka panjang. Misalnya, pelatihan SDM, pendampingan bisnis, hingga pengembangan aplikasi reservasi dan pemasaran desa.
Digitalisasi menjadi kata kunci utama. Tapi digitalisasi yang dimaksud bukan sekadar memiliki akun Instagram atau brosur online. Lebih dari itu, digitalisasi harus menyentuh proses manajemen, pencatatan keuangan, pemetaan potensi, hingga sistem tiket masuk dan review wisatawan.
Aplikasi sederhana berbasis desa bisa membantu mendekatkan layanan ke pengunjung dan memberikan rasa percaya terhadap profesionalisme desa wisata.
Strategi lain yang tak kalah penting adalah diversifikasi produk wisata. Selama ini banyak desa hanya mengandalkan atraksi tertentu seperti tari-tarian atau pemandangan alam. Setelah pandemi, desa wisata mulai menyadari pentingnya variasi: wisata edukasi (belajar menanam, membatik, memasak), wisata spiritual (meditasi, healing), hingga wisata agrikultur (petik buah, panen kopi, dll). Semakin beragam produk, semakin fleksibel desa dalam menghadapi perubahan tren wisata.
Kamu wajib baca! Society 5.0 dan Desa Wisata: Masyarakat Jadi Pusat Inovasi Pariwisata
Desa Wisata yang Resilien: Membangun dari Komunitas
Resiliensi atau daya tahan desa wisata tidak dibangun dalam semalam. Ia lahir dari proses panjang penguatan komunitas. Masyarakat harus merasa bahwa program desa wisata adalah milik mereka, bukan sekadar proyek pemerintah. Maka, penguatan kapasitas SDM lokal menjadi prioritas.
Dalam konteks ini, peran driver force atau tokoh penggerak desa sangat penting. Mereka menjadi penyambung antara masyarakat dan ide-ide baru. Mereka membangun semangat, mempertemukan warga, dan menyusun langkah-langkah kecil yang berkelanjutan. Mereka pula yang menciptakan ekosistem desa wisata yang sehat: partisipatif, terbuka, dan saling mendukung.
Pendekatan IITCA (Integrative, Interactive, Transparency, Controlling, Accountability) yang diperkenalkan dalam buku Desa Wisata menjadi sangat relevan. Tata kelola yang baik tidak hanya meningkatkan kepercayaan masyarakat, tapi juga membangun citra positif desa di mata wisatawan dan mitra kerja. Di sinilah letak kekuatan desa: bukan pada jumlah tamu, tapi pada ketangguhan komunitasnya.
Cek tulisan sebelumnya: Pembahasan Lengkap dan Contoh Desa Cerdas
Saatnya Desa Menjadi Cahaya di Tengah Ketidakpastian
Tiga tahun terakhir telah mengajarkan kita satu hal penting: yang kuat bukan yang besar, tapi yang lentur dan adaptif. Desa wisata yang mampu bertahan dan bangkit pasca pandemi adalah desa yang berani berubah, belajar, dan terus bergerak. Mereka tidak menunggu bantuan dari luar, tapi mulai dari langkah kecil di dalam.
Saat dunia mencari cara baru untuk berwisata—yang lebih bermakna, sehat, dan manusiawi—desa menjadi jawaban. Desa menawarkan ketenangan, keterhubungan dengan alam, dan nilai-nilai kearifan lokal yang makin dicari oleh wisatawan pasca pandemi. Inilah momentum besar bagi desa wisata di Indonesia.
Sebagai penulis dan bagian dari komunitas desa, saya percaya bahwa desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat peradaban masa depan. Mari jadikan pandemi bukan sebagai akhir, melainkan awal dari gerakan besar: membangun desa wisata yang mandiri, tangguh, dan membanggakan.
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Dewi, R., Suyanto, E., & Harliana, S.T. (2021). Desa Wisata dan Pandemi Covid-19: Analisis Dampak dan Strategi Pemulihan.
- Rianto, dkk. (2021). Kebijakan Publik Desa Wisata sebagai Solusi Ekonomi Masa Pandemi. Jurnal Inovasi Penelitian.
- Prakoso, L.Y., Sianturi, D. (2019). Pertahanan Ekonomi Berbasis Desa Wisata.