Sedesa.id Pernahkah kamu membayangkan, di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, para petani kopi lokal tiba-tiba ramai menerima pesanan dari luar negeri hanya lewat sebuah aplikasi? Atau kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang biasanya hanya sibuk menyiapkan bale kulkul dan suguhan untuk tamu, kini sibuk mengatur reservasi online dari tamu-tamu kota besar? Inilah kenyataan baru dari desa wisata di era Revolusi Industri 4.0.
Era Digital: Peluang Sekaligus Tantangan Baru
Revolusi Industri 4.0 adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan era otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi, termasuk penggunaan internet, kecerdasan buatan (AI), big data, dan Internet of Things (IoT). Bagi desa wisata, ini bukan sekadar istilah akademik—ini adalah realitas yang harus dihadapi dan diadaptasi.
Di satu sisi, era ini membuka peluang luar biasa:
- Promosi desa bisa dilakukan secara global melalui media sosial dan marketplace wisata digital.
- Reservasi homestay bisa dilakukan secara online, memperluas jangkauan tamu.
- Produk-produk lokal bisa dijual melalui e-commerce, menambah penghasilan masyarakat.
Namun di sisi lain, tantangan juga tidak sedikit:
- Belum semua masyarakat desa akrab dengan teknologi digital.
- Infrastruktur internet belum merata di berbagai pelosok desa.
- Kebutuhan pelatihan dan pendampingan masih tinggi.
Belajar digital mareting untuk desa wisata: Panduan Digital Mareking Desa Wisata Lengkap
Berbenah Menuju Desa Cerdas Wisata
Menurut buku Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata (Politeknik Pariwisata Bali, 2022), desa wisata harus mampu “berbenah diri agar siap” menghadapi tuntutan wisatawan yang semakin tinggi terhadap kualitas layanan dan pengalaman. Inovasi digital menjadi keniscayaan.
Beberapa langkah strategis yang bisa diambil desa wisata antara lain:
- Pemetaan digital potensi wisata desa, agar memudahkan promosi berbasis data.
- Pelatihan digital untuk masyarakat, seperti membuat konten media sosial, sistem pemesanan online, atau pengelolaan keuangan digital.
- Kemitraan dengan platform digital, seperti travel marketplace, startup lokal, atau bahkan komunitas content creator.
- Pembangunan infrastruktur penunjang, mulai dari jaringan internet hingga titik-titik wisata berbasis sensor.
Kunci dari semua ini bukan semata teknologi, melainkan kesiapan sumber daya manusia. Dalam era digital, masyarakat bukan lagi sekadar “pelaku tradisi”, tetapi juga aktor digital yang bisa membawa identitas desa ke panggung dunia.
Cek tulisan sebelumnya: Pembahasan Lengkap dan Contoh Desa Cerdas
Dari Revolusi Industri ke Society 5.0
Kalau Revolusi Industri 4.0 bicara soal teknologi, maka Society 5.0 adalah tentang bagaimana teknologi digunakan untuk kepentingan manusia. Dalam konteks desa wisata, ini artinya teknologi bukan hanya untuk “menjual” desa, tapi untuk memperkuat desa, membuat masyarakat lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Sebagai penulis dan pegiat desa, saya percaya bahwa transformasi digital bukan hanya tentang koneksi internet, tapi juga tentang koneksi sosial, koneksi budaya, dan koneksi nilai. Teknologi adalah jembatan, bukan tujuan akhir.
Kesimpulan
Desa wisata di era Revolusi Industri 4.0 bukan berarti harus kehilangan tradisinya. Justru, teknologi menjadi alat untuk memperkuat akar budaya dan memperluas sayap ekonomi. Tantangannya memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Kuncinya ada pada kemauan belajar, berinovasi, dan berkolaborasi.
Maka pertanyaannya sekarang bukan lagi: “Mampukah desa wisata menghadapi era digital?”, melainkan:
“Siapkah kita mengubah desa menjadi pusat inovasi dan kehidupan masa depan?”
Referensi:
- Ni Desak Made Santi Diwyarthi. (2022). Desa Wisata: Membangun Desa dengan Pariwisata. Politeknik Pariwisata Bali.
- Dewi, R., Suyanto, E., & Harliana, S.T. (2021). Desa Wisata dan Pandemi Covid-19. Prosiding Seminar Nasional.
- Zakaria, F., & Supriharjo, R.D. (2014). Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata di Desa Bandungan. Jurnal Teknik Pomits.