Sedesa.id Pulau Pecong, sebuah desa yang sekaligus kelurahan di wilayah perbatasan laut Indonesia, menyimpan cerita unik tentang kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut dan menjaga harmoni dengan alam. Dalam sebuah perjalanan singkat, saya—Ryan Ari—berkesempatan untuk singgah sebentar dan mengenal lebih dekat potret desa bahari ini.
Desa Pulau Pecong: Satu Pulau, Satu Kelurahan
Pulau Pecong terletak di wilayah Kepulauan Riau dan menjadi salah satu contoh desa di kepulauan yang masih menjaga kearifan lokal. Satu pulau ini menjadi satu kelurahan tersendiri, dihuni oleh masyarakat Melayu yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan.
Akses ke pulau ini menggunakan kapal pong pong, sejenis kapal kayu kecil yang biasa digunakan masyarakat antar-pulau. Setibanya di dermaga Pulau Pecong, suasana desa langsung terasa—hangat, sederhana, dan bersahaja.
Mencari Sinyal, Mencari Harapan
Salah satu hal unik yang saya temui adalah bagaimana masyarakat memanfaatkan sinyal internet. Dermaga menjadi titik penting karena hanya di situlah sinyal ponsel bisa muncul. Untuk sinyal internet yang lebih kuat, warga harus naik kapal ke tengah laut, menantang ombak sambil menunggu koneksi.
Ini adalah realitas desa pesisir di Indonesia yang masih terkendala infrastruktur digital, namun tetap kreatif mencari solusi.
Rengkam: Rumput Laut Penopang Ekonomi Warga
Saat musim tidak memungkinkan untuk melaut, warga Pulau Pecong memanfaatkan sumber daya laut lain, yaitu rengkam, sejenis rumput laut. Rengkam dikumpulkan, dijemur, dan kemudian dijual ke pengepul. Meski warga tidak tahu pasti kegunaan akhirnya—entah untuk kosmetik atau pupuk—rengkam tetap menjadi sumber penghasilan alternatif yang penting.
Inilah bentuk ekonomi kreatif desa pesisir, yang menggambarkan ketahanan masyarakat terhadap musim dan perubahan cuaca ekstrem.
Ikan Dingkis: Komoditas Musiman Bernilai Tinggi
Selain rengkam, nelayan di Pulau Pecong juga menangkap ikan dingkis—atau yang dikenal juga sebagai pecto. Di musim tertentu, terutama menjelang Imlek, harga ikan ini bisa mencapai Rp300.000 per kilogram. Nilai jualnya yang tinggi membuat ikan ini lebih sering dijual daripada dikonsumsi oleh warga sendiri.
Inilah potret nyata potensi ekonomi desa nelayan yang belum banyak diketahui publik.
Mangrove: Penjaga Pulau dari Abrasi
Di ujung pulau, hutan mangrove tumbuh lebat. Masyarakat menyadari betapa pentingnya mangrove dalam menjaga garis pantai dan melindungi rumah-rumah dari terjangan angin laut. Bahkan, sebagian rumah dibangun di atas tiang-tiang kayu bakau—mencerminkan hubungan erat antara alam dan manusia.
Konservasi ekosistem mangrove di desa pesisir menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari warga Pecong.
Singgah yang Menyentuh Hati
Meski hanya singgah sebentar, pengalaman di Pulau Pecong memberikan pelajaran berharga tentang ketahanan, kearifan lokal, dan potensi desa-desa pesisir Indonesia. Dari sinyal yang dicari di tengah laut, rengkam yang dijemur di panas matahari, hingga ikan dingkis yang jadi harapan ekonomi—semua itu adalah wajah Indonesia dari desa.
Pulau Pecong adalah gambaran nyata desa bahari yang terus bertahan, hidup dalam keterbatasan tapi kaya akan nilai dan makna.
Demikian pembahasan kita kali ini mengenai Pulau Pecong: Desa di Atas Laut yang Menyimpan Kearifan Lokal. Semoga bermanfaat. Salam. Ari Sedesa.id